Petunjuk
Islami Mempererat Cinta Suami Istri
Ternyata Islam
banyak sekali mengajarkan Tips-tips menumbuhkembangkan dan menjaga keutuhan
cinta di antara suami istri, bahkan hal ini termasuk ibadah. Ustadz Fariq Gasim
Anuz dalam artikelnya “Kiat-kiat Mempererat Cinta Suami Istri” mengulas lebih
banyak tentang tips-tips romantisme dalam rumah tangga.
KIAT-KIAT MEMPERERAT CINTA SUAMI
ISTRI
Ada
kejadian, seorang laki-laki sebelum menikah menginginkan istri yang cantik
parasnya dan beberapa kriteria lainnya. Tetapi pada saat pernikahan, dia
mendapatkan istrinya sangat jauh dari kriteria yang ia tetapkan. Subhanallah!
Inilah jodoh, walaupun sudah berusaha keras, tetapi jika Allah menghendaki
lain, semua akan terjadi.
Pada awalnya
ia terkejut karena istrinya ternyata kurang cantik, padahal sebelumnya sudah
nazhar (melihat) calon istrinya tersebut. Sampai ayah dari pihak suami
menganjurkan anaknya untuk menceraikan istrinya tersebut. Tetapi kemudian ia
bersabar. Dan ternyata ia mendapati istrinya tersebut sebagai wanita yang
shalihah, rajin shalat, taat kepada orang tuanya, taat kepada suaminya, selalu
menyenangkan suami, juga rajin shalat malam.
Pada
akhirnya, setelah sekian lama bergaul, sang suami ini merasa benar-benar puas
dengan istrinya. Bahkan ia berpikir, lama-kelamaan istrinya bertambah cantik,
dan ia sangat mencintai serta menyayanginya. Karena kesabaranlah Allah
menumbuhkan cinta dan ketentraman. Ternyata faktor fisik tidaklah begitu pokok
dalam menentukan kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga, walaupun bisa juga
ikut berperan menentukan.
Berikut ini
kami bawakan kiat-kiat praktis sebagai ikhtiar merekatkan cinta kasih antara
suami istri, sehingga keharmonisan bisa tercipta.
PERTAMA: Saling Memberi Hadiah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam (saw.) telah bersabda:
Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya
kalian akan saling cinta mencintai. [1]
Memberi
hadiah merupakan salah satu bentuk perhatian seorang suami kepada istrinya,
atau istri kepada suaminya. Terlebih bagi istri, hadiah dari suami mempunyai
nilai yang sangat mengesankan. Hadiah tidak harus mahal, tetapi sebagai simbol
perhatian suami kepada istri.
Seorang
suami yang ketika pulang membawa sekedar oleh-oleh kesukaan istrinya, tentu
akan membuat sang isteri senang dan merasa mendapat perhatian. Dan seorang
suami, semestinya lebih mengerti apa yang lebih disenangi oleh isterinya. Oleh
karena itu, para suami hendaklah menunjukkan perhatian kepada istri,
diungkapkan dengan memberi hadian meski sederhana.
KEDUA: Mengkhususkan Waktu Untuk
Duduk Bersama
Jangan
sampai antara suami istri sibuk dengan urusannya masing-masing, dan tidak ada
waktu untuk duduk bersama.
Ada
pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh bin Baz. Ada seorang pemuda tidak
memperlakukan isteri dengan baik. Yang menjadi penyebabnya, karena ia sibuk
menghabiskan waktunya untuk berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan studi
dan lainnya, sehingga meninggalkan isteri dan anak-anaknya dalam waktu lama.
Masalah ini ditanyakan kepada Syaikh, apakah diperbolehkan sibuk menuntut ilmu
dan sibuk beramal dengan resiko mengambil waktu yang seharusnya dikhususkan
untuk isteri?
Syaikh bin
Baz menjawab pertanyaan ini. Beliau menyatakan, tidak ragu lagi, bahwa wajib
atas suami untuk memperlakukan isterinya dengan baik berdasarkan firman Allah:
“…Pergaulilah mereka dengan baik…”
[Q.S. an-Nisaa' 4:19]
[Q.S. an-Nisaa' 4:19]
Juga
sebagaimana sabda Nabi saw. kepada Abdullah bin ‘Amr bin Ash, yaitu manakala
sahabat ini sibuk dengan shalat malam dan sibuk dengan puasa, sehingga lupa dan
lalai terhadap isterinya, maka Nabi saw. berkata:
Puasalah dan
berbukalah. Tidur dan bangunlah. Puasalah sebulan selama tiga hari, karena
sesungguhnya kebaikan itu memiliki sepuluh kali lipat. Sesungguhnya engkau
memiliki kewajiban atas dirimu. Dirimu sendiri memiliki hak, dan engkau juga
mempunyai kewajiban terhadap isterimu, juga kepada tamumu. Maka, berikanlah
haknya setiap orang yang memiliki hak.
[Muttafaqun ‘alaihi]
[Muttafaqun ‘alaihi]
Banyak
hadits yang menunjukkan adanya kewajiban agar suami memperlakukan isteri dengan
baik. Oleh karena itu, para pemuda dan para suami hendaklah memperlakukan
isteri dengan baik, berlemah-lembut sesuai dengan kemampuan.
Apabila
memungkinkan untuk belajar dan menyelesaikan tugas-tugasnya di rumah, maka
lakukanlah di rumah, sehingga, disamping dia mendapatkan ilmu dan menyelesaikan
tugas, dia juga dapat membuat isteri dan anak-anaknya senang.
Kesimpulannya,
adalah disyariatkan atas suami mengkhususkan waktu-waktu tertentu, meluangkan
waktu untuk isterinya, agar sang isteri merasa tentram, memperlakukan isterinya
dengan baik; terlebih lagi apabila tidak memiliki anak.
Rasulullah saw. bersabda (artinya):
Sebaik-baik kalian adalah yang
terbaik di antara kalian terhadap keluarganya. Dan saya adalah orang yang
terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.
[H.R. Tirmidzi]
[H.R. Tirmidzi]
Rasulullah saw. bersabda (artinya):
Orang yang paling sempurna imannya
adalah yang terbaik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah
yang terbaik terhadap isteri-isteri kalian.
[H.R. Tirmidzi]
[H.R. Tirmidzi]
Sebaliknya,
seorang isteri juga disyariatkan untuk membantu suaminya, misalnya
menyelesaikan tugas-tugas studi ataupun tugas kantor. Hendaklah dia bersabar
apabila suaminya memiliki kekurangan karena kesibukannya, sehingga kurang
memberikan waktu yang cukup kepada isterinya.
Berdasarkan firman Allah, hendaklah
antara suami dan isteri saling bekerja sama:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa…”
[Q.S. al-Maa'idah 5:2]
[Q.S. al-Maa'idah 5:2]
Juga berdasarkan keumuman sabda Nabi
saw.:
Allah akan selalu menolong hambaNya
selama hambaNya itu menolong saudaranya.
[H.R. Muslim - Diterjemahkan dari buku Fatawa Islamiyyah]
[H.R. Muslim - Diterjemahkan dari buku Fatawa Islamiyyah]
Nasihat
Syaikh bin Baz tersebut ditujukan kepada kedua belah pihak. Kepada suami
hendaklah benar-benar tidak sampai melalaikan, dan kepada isteri pun untuk bisa
bersabar dan memahami apabila suaminya sibuk bukan untuk hal-hal yang tidak
bermanfaat.
Untuk para
isteri, bisa juga mengoreksi diri mereka. Mungkin di antara sebab suami tidak
kerasan di rumah karena memiliki isteri yang sering marah, selalu bermuka masam
dan ketus apabila berbicara.
KETIGA: Menampakkan Wajah Yang Ceria
Di antara
cara untuk mempererat cinta kasih, hendaklah menampakkan wajah yang ceria.
Ungkapan dengan bahasa wajah, mempunyai pengaruh yang besar dalam kegembiraan
dan kesedihan seseorang. Seorang isteri akan senang jika suaminya berwajah
ceria, tidak cemberut. Secara umum Nabi saw. bersabda:
Sedikit pun janganlah engkau
menganggap remeh perbuatan baik, meskipun ketika berjumpa dengan saudaramu
engkau menampakkan wajah ceria.
[H.R. Muslim]
[H.R. Muslim]
Begitu pula
sebaliknya, ketika suami datang, seorang isteri jangan sampai menunjukkan wajah
cemberut atau marah. Meskipun demikian, hendaknya seorang suami juga bisa
memahami kondisi isteri secara kejiwaan. Misalnya, isteri yang sedang haidh
atau nifas, terkadang melakukan tindakan yang menjengkelkan. Maka seorang suami
hendaklah bersabar.
Ada pertanyaan dari seorang istri
yang disampaikan kepada Syaikh bin Baz, sebagai berikut:
“Suami saya
-semoga Allah memaafkan dia-, meskipun dia berpegang teguh dengan agama dan
memiliki akhlak yang tinggi serta takut kepada Allah, tetapi dia tidak memiliki
perhatian kepada saya sedikit pun. Jika di rumah, ia selalu berwajah cemberut,
sempit dadanya dan terkadang dia mengatakan bahwa sayalah penyebab masalahnya.
Tetapi
Allah-lah yang mengetahui bahwa saya –alhamdulillah- telah melaksanakan
hak-haknya. Yakni menjalankan kewajiban saya sebagai isteri. Saya berusaha
semaksimal mungkin dapat memberikan ketenangan kepada suami dan menjauhkan
segala hal yang membuatnya tidak suka. Saya selalu sabar atas
tindakan-tindakannya terhadap saya.
Setiap saya
bertanya sesuatu kepadanya, dia selalu marah, dan dia mengatakan bahwa ucapan
saya tidak bermanfaat dan kampungan. Padahal perlu diketahui, jika kepada
teman-temannya, suami saya tersebut termasuk orang yang murah senyum. Sedangkan
terhadap saya, ia tidak pernah tersenyum; yang ada hanyalah celaan dan
perlakuan buruk. Hal ini menyakitkan dan saya merasa sering tersiksa dengan
perbuatannya. Saya ragu-ragu dan beberapa kali berpikir untuk meninggalkan
rumah.
Wahai
Syaikh, apabila saya meninggalkan rumah dan mendidik sendiri anak-anak saya dan
berusaha mencari pekerjaan untuk membiayai anak-anak saya sendiri, apakah saya
berdosa? Ataukah saya harus tetap tinggal bersama suami dalam keadaan seperti
ini, (yaitu) jarang berbicara dengan suami, (ia) tidak bekerja sama dan tidak
merasakan problem saya ini?”
Dijawab oleh Syaikh bin Baz:
Tidak
diragukan lagi, bahwa kewajiban atas suami isteri ialah bergaul dengan baik dan
saling menampakkan wajah penuh dengan kecintaan. Dan hendaklah berakhlak dengan
akhlak mulia, (yakni) dengan menampakkan wajah ceria, berdasarkan firman Allah:
“…Pergaulilah mereka dengan baik…”
[Q.S. an-Nisaa' 4:19]
Juga dalam surat al-Baqarah ayat
228:
“Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf, akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isteri.”
Arti
kelebihan disini, secara umum laki-laki lebih unggul daripada wanita. Tetapi
nilai-nilai yang ada pada setiap individu di sisi Allah, tidak berarti
laki-laki pasti derajatnya lebih tinggi. Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.
Dan berdasarkan sabda Nabi saw.:
“Kebaikan itu adalah akhlak yang
baik.” [H.R. Muslim]
Dan berdasarkan sabda Nabi saw.:
“Sedikitpun janganlah engkau
menganggap remeh perbuatan baik, meskipun ketika berjumpa dengan saudaramu
engkau menampakkan wajah ceria.” [H.R. Muslim]
Juga berdasarkan sabda Nabi saw.:
“Orang yang paling sempurna imannya
adalah yang terbaik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah
yang terbaik terhadap isteri-isteri kalian.” [H.R. Tirmidzi]
Ini semua
menunjukkan, bahwa motivasi berakhlak yang baik dan menampakkan wajah ceria
pada saat bertemu serta bergaul dengan baik kepada kaum Muslimin, berlaku
secara umum; terlebih lagi kepada suami atau isteri dan kerabat.
Oleh karena
itu, engkau telah berbuat baik dalam hal kesabaran dan ketabahan atas
penderitaanmu, yaitu menghadapi kekasaran dan keburukan suamimu.
Saya
berwasiat kepada dirimu untuk terus meningkatkan kesabaran dan tidak meninggalkan
rumah di karenakan hal itu. Insya Allah akan mendatangkan kebaikan yang banyak.
Dan akibat yang baik, insya Allah diberikan kepada orang-orang yang sabar.
Banyak ayat
yang menunjukan, barangsiapa yang bertakwa dan sabar, maka sesungguhnya balasan
yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa. Dan sesungguhnya Allah akan
memberi ganjaran yang besar tanpa hisab kepada oraang-orang yang sabar.
Tidak ada
halangan dan rintangan untuk bercanda dan bergurau, serta mengajak bicara suami
dengan ucapan-ucapan yang dapat melunakkan hatinya, dan yang dapat menyebabkan
lapang dadanya dan menumbuhkan kesadaran akan hak-hakmu.
Tinggalkanlah
tuntutan-tuntutan kebutuhan dunia (yang tidak pokok) selama sang suami
melaksanakan kewajiban dengan memberikan nafkah dari kebutuhan-kebutuhan yang
pokok, sehingga ia menjadi lapang dada dan hatinya tenang. Engkau akan
merasakan balasan yang baik, insya Allah.
Semoga Allah
memberikan taufiq kepada dirimu untuk mendapatkan kebaikan dan memperbaiki
keadaan suamimu. Semoga Allah membimbingnya kepada kebaikan dan memperbaiki
akhlaknya. Semoga Allah membimbingnya untuk dapat bermuka ceria dan
melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada isterinya dengan baik. Sesungguhnya,
Allah adalah sebaik-baik yang diminta, dan Dia adalah pemberi hidayah kepada
jalan yang lurus. [Dinukil dari buku Fatawa Islamiyyah]
Ini
menunjukkan, bahwa seorang wanita diperbolehkan untuk mengeluh dan menyampaikan
problemnya kepada orang yang alim, atau orang yang dianggap bisa menyelesaikan
masalahnya. Hal ini tidak sama dengan sebagian wanita yang sering, atau suka
menceritakan rahasia rumah tangganya, termasuk kelemahan dan keburukan suaminya
kepada orang lain, tanpa bermaksud menyelesaikan masalahnya.
Sehubungan
dengan permasalahan ini, Syaikh ‘Utsaimin mengatakan, bahwa apa yang
disampaikan oleh sebagian wanita, yang menceritakan keadaan rumah tangganya
kepada kerabatnya, bisa jadi (kepada) orang tua isteri atau kakak perempuannya,
atau kerabat yang lainnya, bahkan kepada teman-temannya, (hukumnya) adalah
diharamkan.
Tidak halal
bagi seorang wanita membuka rahasia rumah tangganya dan keadaan suaminya kepada
seorang pun. Karena seorang wanita yang shalihah ialah, yang bisa menjaga dan
memelihara kedudukan martabat suaminya. Nabi saw. telah memberitakan,
seburuk-buruk manusia kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat ialah,
seorang laki-laki yang suka menceritakan keburukan isterinya, atau seorang
wanita yang menceritakan keburukan suaminya.
Meski
demikian, jangan dipahami bahwa secara mutlak seorang wanita tidak boleh
menceritakan keburukan seorang suami. Karena, pada masa Nabi pun ada seorang
wanita yang datang kepada Rasulullah saw. dan berkata: “Ya, Rasulullah. Suami
saya adalah orang yang kikir, tidak memberikan nafkah yang cukup bagi saya.
Bolehkah saya mengambil darinya tanpa sepengetahuannya untuk sekedar mencukupi
kebutuhan saya dan anak saya?”
Mendengar penuturan orang ini, Nabi
saw. menjawab:
Ambillah nominal yang mencukupi
kebutuhanmu dan anakmu.
[Muttafaqun ‘alaihi]
[Muttafaqun ‘alaihi]
KEEMPAT: Memberikan Penghormatan
Dengan Hangat Kepada Pasangannya
Memberikan
penghormatan dengan hangat kepada pasangannya, baik ketika hendak pergi keluar
rumah, ataupun ketika pulang. Penghormatan itu, hendaklah dilakukan dengan
mesra.
Dalam
beberapa hadits diriwayatkan, ketika hendak pergi shalat, Rasulullah saw.
mencium isterinya tanpa berwudhu lagi dan langsung shalat. Ini menunjukkan,
bahwa mencium isteri dapat mempererat hubungan antara suami isteri, meluluhkan
kebekuan ataupun kekakuan antara suami isteri. Tentunya dengan melihat situasi,
jangan dilakukan di hadapan anak-anak.
Perbuatan
sebagian orang, ketika seorang isteri menjemput suaminya yang datang dari luar
kota atau dari luar negeri, ia mencium pipi kanan dan pipi kiri di tempat umum.
Demikian ini tidak tepat.
Memberikan
penghormatan dengan hangat tidak mesti dengan mencium pasangannya. Misalnya,
seorang suami dapat memanggil isterinya dengan baik, tidak menjelek-jelekkan
keluarganya, tidak menegur isterinya di hadapan anak-anak mereka. Atau seorang
isteri, bila melakukan penghormatan dengan menyambut kedatangan suaminya di
depan pintu. Apabila suami hendak bepergian, istri menyiapkan pakaian yang
telah disetrika dan dimasukkannya ke dalam tas dengan rapi.
Suami
hendaknya menghormati isterinya dengan mendengarkan ucapan isteri secara
seksama. Sebab terkadang, ada sebagian suami, jika isterinya berbicara, ia
justru sibuk dengan hand phone-nya mengirim sms atau sambil membaca koran. Dia
tidak serius mendengarkan ucapan isteri. Dan jika menanggapinya, hanya dengan
kata-kata singkat. Jika isteri mengeluh, suami mengatakan “hal seperti ini saja
dipikirkan!”
Meskipun
sepele atau ringan, tetapi hendaklah suami menanggapinya dengan serius, karena
bagi isteri mungkin merupakan masalah yang besar dan berat.
KELIMA: Hendaklah Memuji Pasangannya
Di antara
kebutuhan manusia adalah keinginan untuk dipuji -dalam batas-batas yang wajar.
Dalam masalah pujian ini, para ulama telah menjelaskan[2], bahwa pujian
diperbolehkan atau bahkan dianjurkan dengan syarat-syarat: untuk memberikan
motivasi, pujian itu diungkapkan dengan jujur dan tulus, dan pujian itu tidak
menyebabkan orang yang dipuji menjadi sombong atau lupa diri.
Abu Bakar As
Siddiq Radhiyallahu ‘anhu (ra.) pernah dipuji, dan dia berdo’a kepada Allah:
“Ya, Allah. Janganlah Engkau hukum aku dengan apa yang mereka ucapkan. Jangan
jadikan dosa bagiku dengan pujian mereka, jangan timbulkan sifat sombong.
Jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangka, dan ampunilah aku atas
perbuatan-perbuatan dosa yang mereka tidak ketahui”.
Perkatanan
ini juga diucapkan oleh Syaikh Al Albani ketika beliau dipuji-puji oleh
seseorang di hadapan manusia. Beliau menangis dan mengucapkan perkataan Abu
Bakar tersebut serta mengatakan: “Saya ini hanyalah penuntut ilmu saja”.
Seorang
isteri senang pujian dari suaminya, khususnya di hadapan orang lain, seperti
keluarga suami atau isteri. Dia tidak suka jika suami menyebutkan aibnya,
khususnya di hadapan orang lain. Jika masakan isteri kurang sedap jangan
dicela.
KEENAM: Bersama-sama Melakukan Tugas
Yang Ringan
Di antara
kesalahan sebagian suami ialah, mereka menolak untuk melakukan sebagian tugas
di rumah. Mereka mempunyai anggapan, jika melakukan tugas di rumah, berarti
mengurangi kedudukannya, menurunkan atau menjatuhkan kewibawaannya di hadapan
sang isteri. Pendapat ini tidak benar.
Nabi saw.
melakukan tugas-tugas di rumah, seperti menjahit pakaiannya sendiri,
memperbaiki sandalnya dan melakukan tugas-tugas di rumah. Diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan terdapat dalam Jami’ush Shaghir. Terlebih lagi
dalam keadaan darurat, seperti isteri sedang sakit, setelah melahirkan.
Terkadang isteri dalam keadaan repot, maka suami bisa meringankan beban isteri
dengan memandikan anak atau menyuapi anak-anaknya. Hal ini, disamping
menyenangkan isteri, juga dapat menguatkan ikatan yang lebih erat lagi antara
ayah dan anak-anaknya.
KETUJUH: Ucapan Yang Baik
Kalimat yang
baik adalah kalimat-kalimat yang menyenangkan. Hendaklah menghindari
kalimat-kalimat yang tidak menyenangkan, bahkan menyakitkan. Seorang suami yang
menegur isterinya karena tidak berhias, tidak mempercantik diri dengan celak
dimata, harus dengan ucapan yang baik.[3]
Misalnya
dengan perkataan: “Mengapa engkau tidak memakai celak?” Isteri menjawab dengan
kalimat yang menyenangkan: “Kalau aku memakai celak, akan mengganggu mataku
untuk melihat wajahmu.”
Perkataan
yang demikian menunjukkan ungkapan perasaan cinta isteri kepada suami. Ketika
ditegur, ia menjawab dengan kalimat menyenangkan.
Berbeda
dengan kasus lain. Saat suami isteri berjalan-jalan di bawah bulan purnama,
suami bertanya: “Tahukah engkau bulan purnama di atas?” Mendengar pertanyaan
ini, sang isteri menjawab: “Apakah engkau lihat aku buta?”
KEDELAPAN: Perlu Berekreasi Berdua
Tanpa Membawa Anak
Rutinitas
pekerjaan suami di luar rumah dan pekerjaan isteri di rumah membuat suasana
menjadi jenuh. Sekali-kali diperlukan suasana lain dengan cara pergi berdua
tanpa membawa anak. Hal ini sangat penting, karena bisa memperbaharui cinta
suami isteri.
Kita
mempunyai anak, lantas bagaimana caranya? Ini memang sebuah problem. Kita cari
solusinya, jangan menyerah begitu saja.
Bukan
berarti setelah mempunyai anak banyak tidak bisa pergi berdua. Tidak! Kita bisa
meminta tolong kepada saudara, kerabat ataupun tetangga untuk menjaga
anak-anak, lalu kita dapat pergi bersilaturahmi atau belanja ke toko dan lain
sebagainya. Kemudian pada kesempatan lainnya, kita pergi berekreasi membawa
isteri dan anak-anak.
KESEMBILAN: Hendaklah Memiliki Rasa
Empati Pada Pasangannya
Rasulullah saw.bersabda:
Perumpamaan
kaum mukminin antara satu dengan yang lainnya itu seperti satu tubuh. Apabila
ada satu anggota tubuh yang sakit, maka anggota tubuh yang lain pun ikut
merasakannya sebagai orang yang tidak dapat tidur dan orang yang terkena
penyakit demam. [4]
Ini berlaku
secara umum kepada semua kaum Muslimin. Rasa empati harus ada. Yaitu merasakan
apa yang dirasakan oleh orang lain, termasuk kepada isteri atau suami. Jangan
sampai suami sakit, terbaring di tempat tidur, isteri tertawa-tawa di
sampingnya, bergurau, bercanda. Begitu pula sebaliknya, jangan sampai karena
kesibukan, suami kemudian kurang merasakan apa yang dirasakan oleh isteri.
KESEPULUH: Perlu Adanya Keterbukaan
Keterbukaan
antara suami dan isteri sangat penting. Di antara problem yang timbul di
keluarga, lantaran antara suami dan isteri masing-masing menutup diri, tidak
terbuka menyampaikan problemnya kepada pasangannya. Yang akhirnya kian
menumpuk. Pada gilirannya menjadi lebih besar, sampai akhirnya meledak.
Inilah
sepuluh tips untuk merekatkan hubungan suami-istri, sehingga biduk rumah tangga
tetap harmonis dan tenteram. Semoga bermanfaat, menjadi bekal keharmonisan
keluarga.
[Diangkat dari buku Lautan Cinta,
Fariq Gasim Anuz, Darul Qolam, Cet. I, Th. 1426H/2005M]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Footnote:
[1] H.R. Bukhari dalam Adabul Mufrad
dan lain-lain, dihasankan oleh Syaikh Al Albani.
[2] Di antaranya adalah Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim dan Imam Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajil Qashidin.
[3] Nasihat untuk akhwat yang berkeluarga atau ibu-ibu. Hendaknya wanita mempercantik diri dan berhias untuk suaminya. Yang terjadi, umumnya berdandan dan mempercantik diri kalau mau keluar rumah, atau kalau ada walimah, misalnya. Sedangkan di rumah, ia enggan mempercantik diri dan tampil seadanya. Padahal berdandan dan mempercantik diri untuk keluar rumah hukumnya haram.
[4] H.R. Muslim.
[2] Di antaranya adalah Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim dan Imam Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajil Qashidin.
[3] Nasihat untuk akhwat yang berkeluarga atau ibu-ibu. Hendaknya wanita mempercantik diri dan berhias untuk suaminya. Yang terjadi, umumnya berdandan dan mempercantik diri kalau mau keluar rumah, atau kalau ada walimah, misalnya. Sedangkan di rumah, ia enggan mempercantik diri dan tampil seadanya. Padahal berdandan dan mempercantik diri untuk keluar rumah hukumnya haram.
[4] H.R. Muslim.
http://dokter-hanny.blogspot.com/2010/10/petunjuk-islami-mempererat-cinta-suami.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar